P.T. ASURANSI JIWASRAYA : POLEMIK "SAHAM GORENGAN"


    Kasus mengenai perusahaan asuransi sekaligus salah satu Badan Usaha Milik Negara atau disebut juga BUMN ini sebenarnya telah muncul di linimasa publik sejak 1-2 bulan yang lalu. P.T. Jiwasraya ini menyebabkan kerugian negara hingga mencapai 16,81 Trilliun Rupiah sejak tahun 2008 hingga 2018 ini, sebagaimana telah dicatat oleh perhitungan kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kasus ini menjerat beberapa manajemen Jiwasraya dan beberapa direktur utama perusahaan. Menariknya, kasus ini juga menjerat salah satu pejabat instansi keuangan negara, yaitu pejabat Deputi Komisioner Pengawasan Pasar Modal II Otoritas Jasa Keuangan (OJK RI). Selain itu, para penyidik kasus ini juga menemukan keterlibatan beberapa korporasi dalam hal kasus pencucian uang dan dijerat dengan pasal TPPU atau Tindak Pidana Pencucian Uang. Disamping merugikan negara puluhan trilliun rupiah, para nasabah asuransi juga dirugikan akibat ketidakpastian asuransi mereka. Akhirnya, yang menjadi pertanyaan, apakah dana sebesar 16,81 Trilliun Rupiah tersebut hanya muncul pada tahun-tahun belakangan ini? Dalam artikel ini, kami tidak akan membahas mengenai jalannya sidang kasus P.T. Jiwasraya karena dapat dilihat dalam beberapa literatur lainnya seperti berita. Namun, kami akan mengupas latar belakang mengapa kasus ini muncul yang merugikan keuangan negara sebanyak itu. Apakah dalam tata kelola keuangan perusahaan terdapat fraud? Dan lain sebagainya.

Sejarah P.T. Asuransi Jiwasraya

    Jiwasraya pada mulanya adalah perusahaan milik Belanda dengan nama Nederlandsch Levensverzekering en Liffarte Maatschappij van 1859 (NILLMIJ) yang didirikan pada tahun 1859. Seiring waktu, NILLMIJ ini berubah nama menjadi P.T. Perusahaan Pertanggungan Djiwa Sedjahtera pada tahun 1960. NILLMIJ ini dinasionalisasi pada tahun 1957. Kemudian, perusahaan ini berubah nama kembali menjadi Perusahaan Negara Asuransi Djiwa Eka Sedjahtera, Perusahaan Negara Asuransi Djiwa Djasa Sedjahtera, Perusahaan Negara Asuransi Djiwasraja, P.T. Asuransi Jiwasraya, dan pada akhirnya berubah menjadi P.T Asuransi Jiwasraya (Persero) pada tahun 2003 dengan Akte Notaris Perubahan Sri rahayu Prasetyo Nomor 3 tanggal 14 Juli 2003.

Latar Belakang Kasus P.T. Asuransi Jiwasraya


    Dari sejarah diatas, tidak dipungkiri lagi bahwa keberadaan perusahaan asuransi Jiwasraya di tengah-tengah masyarakat Indonesia sejak lama telah menjadikannya sebagai salah satu perusahaan asuransi kepercayaan masyarakat Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya nasabah yang mempercayakan asuransi mereka kepada pihak perusahaan asuransi Jiwasraya. 


    Perlu diketahui bersama, perusahaan Jiwasraya sebelum kasus tahun 2020 ini muncul, lebih tepatnya pada tahun 2006, kondisi keuangan P.T Asuransi Jiwasraya pernah mengalami kendala yaitu ekuitas atau modal perusahaan negatif sebesar 3,29 Trilliun Rupiah. Maksudnya ialah, perusahaan Jiwasraya memiliki beban sebesar 3,29 Trilliun Rupiah yang tidak dapat dicapai walaupun seluruh aset Jiwaraya dilikuidasi. Ditambah lagi di tahun-tahun setelahnya, besar beban P. T. Asuransi Jiwasraya kian melebar hingga mencapai angka negatif 5,7 Trilliun Rupiah pada tahun 2008 dan di tahun 2009 mencapai angka negatif 6,3 Trilliun Rupiah. 


    Jika dilihat, permasalahan keuangan P.T. Asuransi Jiwasraya tidak hanya terjadi tahun-tahun belakangan ini, namun berapa belasan tahun sebelumnya pun telah mengalami kondisi keuangan yang buruk. 


    Pada tahun 2013, P.T. Asuransi Jiwasraya meluncurkan produk bernama JS Saving Plan dimana produk tersebut menawarkan kepada para nasabah proteksi diri (asuransi jiwa) dan juga investasi. JS Saving Plan ini menawarkan return sebesar 9-13 persen, tentunya angka tersebut sangat menggiurkan para nasabah dan menjadikan produk JS Saving Plan ini sebagai produk unggulan dari Jiwasraya. Pada akhirnya, JS Saving Plan ini mampu menarik banyak nasabah hingga menghimpun dana trilliunan rupiah.


    Namun, pada bulan Oktober-November 2018, Jiwasraya mengumumkan tidak mampu membayar klaim polis kepada para nasabah JS Saving Plan yang jatuh tempo hingga mencapai angka 802 Miliar Rupiah. Hal ini sontak membuat para pihak terkejut dengan pengumuman tersebut. 


    Usut punya usut, setelah diselidiki lebih lanjut, aset yang dimiliki Jiwasraya hanya sebesar 23,25 Trilliun Rupiah. Disamping itu, total kewajiban P.T. Asuransi Jiwasraya mencapai 50,5 Trilliun Rupiah. Konsekuensinya, P.T. Asuransi Jiwasraya memiliki ekuitas negatif sebesar 27,24 Trilliun Rupiah, sedangkan liabilitas dari produk JS Saving Plan yang bermasalah tersebut sebesar 15,75 Trilliun Rupiah.


    Pertanyaannya ialah, mengapa P.T Asuransi Jiwasraya kembali negatif ekuitas? Bagaimana mungkin P.T. Asuransi Jiwasraya gagal membayar klaim polis yang jatuh tempo kepada para nasabahnya?


    JS Saving Plan sebagai produk unggulan Jiwasraya dan juga menjadi akar masalah mengapa P.T. Asuransi Jiwasraya tidak mampu membayar polis yang jatuh tempo tersebut. Sebagaimana yang telah diketahui sebelumnya, JS Saving Plan ini adalah produk asuransi diri dan investasi artinya, jika seseorang menggunakan produk ini, maka ia akan mendapatkan 2 keuntungan yaitu asuransi diri dan keuntungan investasi. JS Saving Plan juga menggaet beberapa bank untuk menawarkan produk JS Saving Plan ini sehingga banyak nasabah yang tertarik dan menggunakan produk tersebut. 


    Dengan banyaknya kucuran dana yang diterima melalui produk JS Saving Plan ini, maka P.T. Asuransi Jiwasraya harus mecari cara agar dapat memutar uang sehingga dapat melampaui kewajiban Jiwasraya kepada para nasabahanya. Namun pada realitanya, P.T. Asuransi Jiwasraya sendiri malah membeli saham dengan fluktuasi harga yang tidak stabil dan risiko yang sangat tinggi. Padahal seharusnya P.T. Asuransi Jiwasraya sendiri harus membeli saham perusahaan dengan fluktuasi harga yang stabil, risiko yang rendah, dan catatan keuangan perusahaan yang aman. 


    Pihak manajemen P.T. Asuransi Jiwasraya ini dianggap menggunakan dana dari produk JS Saving Plan untuk membeli saham-saham perusahaan dengan harga yang tinggi. Maksudnya, sebelum adanya transaksi jual-beli saham, harga saham tersebut dimanipulasi terlebih dahulu dengan para pemilik saham yang memiliki modal yang sangat besar. Hal ini dilakukan agar saham-saham tersebut seolah naik dan diminati oleh para investor. Disaat itu juga P.T. Asuransi Jiwasraya membeli saham-saham tersebut oleh pemilik saham yang berkepentingan dengan harga yang tinggi. Dengan demikian, banyak dari dana P.T. Asuransi Jiwasraya melalui produk JS Saving Plan yang nyangkut atau bermasalah dengan saham-saham yang memiliki risiko tinggi dan marketplace yang rendah. Disamping itu, Jiwasraya juga menginvestasikan dananya kepada Reksa Dana yang memiliki jejak kurang baik, portofolio yang buruk, dan berisiko tinggi padahal Jiwasraya sendiri seharusnya mengalokasikan dananya kepada Reksa Dana dengan portofolio yang baik dan juga memiliki risiko yang rendah. Maka, dari manajemen keuangan yang buruk dalam bidang investasi, hal ini merupakan pemicu awal dari berbagai masalah yang dihadapi oleh Jiwasraya. 


Ada beberapa perusahaan yang sahamnya dibeli oleh P.T. Asuransi Jiwasraya melalui kepemilikan Reksa Dana:

  1. PT Eureka Prima Jakarta (LCGP)
  2. PT Prima Cakrawala Abadi (PCAR)
  3. PT Pool Advista Finance (POLA)
  4. PT Trada Alam Minera (TRAM)
  5. PT Graha Andra Propertindo (JGLE)
  6. PT Hanson International (MYRX)

    Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Akun Youtube Channel dari Ngomongin Uang, masing-masing perusahaan diatas bukanlah tempat yang pas untuk melakukan kegiatan investasi dengan melihat portofolionya yang sangat berisiko tinggi.


    Sepanjang tahun 2018, Jiwasraya mengalokasikan dananya sebesar 5,7 Trilliun Rupiah  atau 22,4 persen dari aset finansial untuk saham dan hanya 5 persen dari alokasi dana tersebut yang diinvestasikan ke perusahaan dengan pondasi bisnis yang baik yang terdaftar pada index saham LQ45. Namun, 95 persen yang lain dialokasikan kepada saham perusahaan yang memiliki risiko tinggi dan marketplace yang rendah atau disebut juga dengan istilah “saham gorengan” dimana saham-saham tersebut sering dimanipulasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan modal besar. 


    Sebagaimana dilansir melalui cnbcindonesia.com, penempatan Reksa Dana, sebanyak 59,1 persen senilai 14,9 Trilliun Rupiah dari aset finansial, hanya 2 persen saja yang dialokasikan kepada manajemen investasi yang baik yang ada di Indonesia dan 98 persen yang lain dialokasikan kepada manajemen investasi yang buruk. Sebagai tambahan, mulai Oktober hingga Desember 2019, manajemen Asuransi Jiwasraya mengakui tidak akan sanggup membayar polis nasabah yang mencapai 12,4 Trilliun Rupiah yang jatuh tempo. Kesulitan keuangan ini disebabkan kesalahan investasi yang dilakukan oleh manajemen lama Jiwasraya.


    Hingga saat penulisan artikel ini, sidang mengenai kasus Jiwasraya masih dalam proses di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta dan belum ada putusan mengenai para terdakwa yang sedang sedang menjalani persidangan atas kasus korupsi dan pencucian uang Jiwasraya.

Comments

Popular posts from this blog

URGENSIKAH KENAIKAN IURAN BPJS 2020?

Implementasi Konsep Negara Kesejahteraan Dengan Praktik Tindakan Pemerintah (Freies Ermessen) Dalam Negara Hukum.

ADA APA DENGAN RUU HIP?