PANDEMI COVID-19:DAPATKAH KESEHATAN DAN PEREKONOMIAN SEIMBANG?
Hingga hari ini kita mendapati bahwa kasus COVID-19 di Indonesia belum berakhir dan tidak menimbulkan tanda-tanda akan berakhir dalam waktu dekat. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan semakin meningginya angka kasus COVID-19. Grafiknya yang selalu naik menimbulkan polemik yaitu betapa lemahnya regulasi dan kebijakan serta ketidaktaatan masyarakat dalam menjalani protokol kesehatan sesuai prosedurnya. Disisi lain, tuntutan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan kesehariannya tidak dapat terelakkan lagi terutama bagi mereka yang memiliki kualitas perekonomian rendah. Maraknya PHK oleh perusahaan-perusahaan turut menjadi polemik tersendiri dalam sektor ekonomi terdampak COVID-19. Namun, perlu diketahui, disaat merebaknya kasus COVID-19 ini, kita juga dituntut secara paksa untuk selalu memenuhi kebutuhan hidup melalui transaksi ekonomi namun juga dibatasi dengan keberadaan kebijakan PSBB. Tentunya, kedua hal tersebut menjadi persoalan tersendiri, sebenarnya bagaimana pemerintah dan pemangku kebijakan melihat dan menghadapi realitas tersebut?
Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian mengungkapkan bahwa pemerintah terus berupaya menjaga keberlangsungan sektor perekonomian dan menjaga kesehatan masyarakat Indonesia di tengah pandemi virus corona atau COVID-19 sesuai dilansir di antaranews.com. Ditambah lagi dari pernyataan Presiden RI, Joko Widodo atau sering disapa dengan Jokowi, beliau mengatakan bahwa antara sktor perekonomian dan kesehatan tidak dapat dihilangkan salah satunya. Keduanya tentu memiliki relevansi masing-masing. Akan tetapi, dalam kondisi seperti saat ini, Jokowi mengatakan bahwa kesehatan tetap diutamakan tanpa menghilangkan atau mengesampingkan sektor perekonomian karena menompang keberlangsungan negara.
Kasus COVID-19 di Indonesia yang kian menanjak tentu turut menjadi persoalan dimana pemerintah telah melaksanakan kebijakan baru yaitu pemberlakuan New Normal atau keadaan baru. Sejak adanya kebijakan New Normal tersebut, angka kasus COVID-19 kian naik. Apakah kebijakan ini salah dimana salah satu alasan mengapa kebijakan ini diberlakukan untuk menghindari melemahnya sektor perekonomian. Hal tersebut tentunya selaras dengan apa yang disampaikan Masyita Cristalin selaku Staf Khusus Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Kementrian Keuangan pada Media Keuangan Podcast, Masyita menyatakan, “Adanya pemberlakuan social distancing membuat ekonomi akan melambat dan lama-kelamaan akan terhenti karena terbatasnya interaksi pergerakan manusia dan pergerakan barang.”
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu No 1 Tahun 2020 sebagai jawaban dalam hal penanganan kebijakan sektor perekonomian di masa pandemi ini. Selanjutnya, Perppu No 1 Tahun 2020 tersebut diundangkan melalui Legislative Review DPR menjadi UU No 2 Tahun 2020 dan telah disahkan oleh Menkumham Yassona H. Laoly pada 18 Mei 2020 lalu, terdapat pada Lembaran Negara Tahun 2020 No 134. Kemudian, Masyita menyampaikan bahwa keberadaan instrumen yuridis tertulis tersebut sebagai upaya penyelamatan dua sektor melalui satu produk instrumen hukum, yaitu sektor perekonomian dan tentunya sektor kesehatan. Upaya itu dapat dilihat melalui pembolehan penyelenggaraan APBN melebihi periodiknya hanya untuk melakukan refocusing dan ralokasi dana terhadap penanganan COVID-19 yang menjadi prioritas di masa pandemi global seperti saat ini. Walaupun, dalam hal ini, ketentuan tersebut telah menyalahi aturan dan ketentuan dan tentunya bertentangan dengan Pasal 23 UUD 1945. Namun, berkaitan dengan penjelasan lebih lanjut mengenai substansi serta kajian yuridis mengenai UU No 2 Tahun 2020 ini akan dijelaskan pada artikel selanjutnya.
Selama masa pandemi COVID-19 ini tentunya pendapatan pemerintah sangat menyusut namun pengeluaranya sangat jor-joran terhadap bidang kesehatan. Keadaan tersebut sangat wajar dilakukan sebuah negara dikarenakan pandemi ini menjadi problematika umum yang dampaknya dirasakan seluruh lapisan masyarakat. Akan tetapi, disisi lain dengan hanya terfokus pada satu bidang yang diprioritaskan tentunya sangat tidak bijak. Jika pemerintah hanya mementingkan pada fokus penanganan bidang kesehatan, maka sektor perekonomian akan terjun sangat bebas mengakibatkan kehidupan masyarakat dengan ini ditinjau dari kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya akan ikut terjun juga dikarenakan transaksi ekonomi yang dihentikan. Namun, apabila pemerintah hanya fokus terhadap penanganan perekonomian tanpa mengindahkan sektor kesehatan, maka akan berimbas kepada kesehatan masyarakat secara luas dan implikasinya yang sangat besar nantinya. Oleh kare itu, di dalam Sila Kelima Pancasila disebutkan bahwa Keadila Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Keadilan Sosial disini tidak dapat diartikan secara sempit hanya berkutat pada keadilan sektor ekonomi dan sosial, namun keadilan untuk mendapatkan kesehatan yang layak juga termasuk di dalamnya. Selain itu, dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 disebutkan tujuan bangsa Indonesia yaitu salah satunya adalah memajukan kesejahteraan umum. Kemudian selanjutnya, nilai penting dalam pembukaan tersebut diperkuat lagi dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 tentang hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Problematika Bisnis Kesehatan
Sebagaimana telah disinggung di awal, pandemi COVID-19 tersebut telah mengganggu sistem keuangan dan perekonomian negara namun tuntutan untuk memenuhi kebutuhan tidak dapat dihentikan dan akan terus berlanjut secara kontinuitas. Tuntutan untuk memenuhi kesehatan yang baik juga tidak jarang digunakan oleh oknum-oknum tertentu sebagai ladang bisnis. Disaat keuangan yang terhambat akibat pandemi sehingga berimplikasi pada pendapatan yang rendah namun beberapa instansi meminta untuk selalu melakukan swab test agar menghindari penyebaran infeksi COVID-19 tersebut dengan harga yang tidak terbilang murah. Perlu menjadi pertimbangan dimana negara-negara tetangga memberikan tunjangan kesehatan kepada masyarakatnya di masa pandemi, secara terbalik di Indonesia malah beberapa instansi kesehatan berlomba-lomba memberikan penawaran harga terhadap swab test COVID-19. Maka dampaknya ialah kesehatan menjadi komoditas bisnis dalam sektor eknomi kesehatan. Tentunya hal demikian menjadi beban tersendiri di masyarakat dimana kemampuan masyarakat yang sangat terbatas dalam ekonomi kini makin diperparah dengan harga-harga swab test yang tidak bermasyarakat. Jika dianalogikan, bisnis dapat diletakkan diatas nilai kemanusiaan. Beberapa bulan silam juga disaat awal COVID-19 memasuki nusantara, dimana masyarakat kita sedang panik-paniknya dan takut agar tidak terjangkiti COVID-19 dengan instruksi untuk selalu menggunakan masker dan hand sanitizer sehingga kedua barang tersebut menjadi barang langka di masyarakat. Namun, malah sebaliknya ada yang menjual kedua barang tersebut dengan harga yang tidak dapat dilogika sama sekali, dua belas kali lipat dari harga biasanya. Walaupun secara teori ekonomi dapat membenarkan tindakan tersebut, ketika barang langka di masyarakat dan angka permintaan tinggi, maka harga barang akan naik juga. Namun, rasa-rasanya teori tersebut tidak dapat diaplikasikan ketika masa pandemi ini dimana masyarakat serba susah dan kesulitan. Maka, disini fungsi dari naluri kemanusiaan yang bergerak.
Comments
Post a Comment