ADA APA DENGAN RUU HIP?



Apa itu Pancasila dan RUU HIP?

    “Pancasila” tidak asing didengar oleh telinga kita sebagai warga negara Indonesia. Pancasila sebagai pilar ideologis negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sanskerta : “panca” berarti lima dan “sila” berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Lima dasar dalam Pancasila yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 ini mempunyai filosofis mendalam dan bermakna. Namun dibalik itu terdapat sejarah panjang perumusan sila-sila Pancasila dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia. Sejarah ini begitu sensitive dan salah-salah bisa mengancam keutuhan Negara Indonesia. Hal ini dikarenakan begitu banyak polemik serta kontroversi yang akut dan berkepanjangan.

    Dalam dunia Hukum terdapat 2 sumber hukum; sumber materiil dan sumber formil. Sumber hukum dalam arti materiil adalah tempat darimana norma itu berasal, baik yang berbentuk tertulis dan tidak tertulis. Tertuang pula dalam Sumber hukum materiil tata negara yaitu dasar dan pandangan hidup bernegara, dengan kata lain posisi Pancasila dalam ketatanegaraan adalah sebagai norma dasar tentunya terletak pada posisi tertinggi hierarki perundang-perundangan negara Indonesia.

    Letak Pancasila dalam sistem bernegara dan perundang-undangan. Dalam bidang hukum Pancasila merupakan sumber hukum materiil, oleh karena itu setiap isi perundang-undangan tidak boleh bertentangan didalamnya. Dalam sistem perundang-undangan menurut teori hans Nawiasky & Hamid S. Attamimi, pancasila terletak pada urutan pertama yaitu sebagai staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara. Hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia merujuk pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan perubahannya yang terdiri atas:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


    Ideologi pancasila menginternalisasi seluruh kebijakan hukum dan politik dengan cara setiap kebijakan membuat hukum dan menjalankan pemerintahan harus dijiwai dengan semangat ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kebijaksanaan dan keadilan.

    Kita mengetahui bahwa kedudukan Pancasila dalam ketatanegaraan Indonesia adalah sebagai staatsfundamentalnorm atau dasar filosofis negara. Kedudukannya dalam Stufenbau theory ada pada posisi paling mendasar (atas) dalam hierarki per-Undang-Udangan. Namun, dalam RUU HIP atas inisiasi DPR ini, seolah-olah kedudukan Pancasila yang awalnya terletak diatas diturunkan menjadi Formal Gesetz atau dalam implementasinya menjadi UU. Maka, hal ini bisa disinyalir sebagai salah satu penyimpangan yang ada dan tentu bertentangan dengan kedudukan Pancasila sebagai ideologi dengan harga mutlak dan kedudukan UU sebagai peraturan. Letak kedudukan antara ideologi negara dan UU adalah berbeda, maka ketika sebuah ideologi negara ingin dilegitimasi menjadi peraturan UU, maka secara tidak langsung akan melemahkan kedudukan ideologi tersebut. 

Substansi RUU HIP    

    Did you know? Bagaimana asal mula, sejarah, isi/substansi, serta kontraversi yang terdapat dalam RUU HIP?

    Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila, atau dikenal dengan RUU HIP sangat kontroversial diperbincangkan oleh banyak kalangan masyarakat, baik dari kalangan petinggi pejabat, mahasiswa, pengajar, pengamat hingga masyarakat awam biasa. RUU HIP dalam waktu singkat langsung disahkan masuk Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas) 2020. Namun, RUU yang mengatur soal ideologi negara ini justru mendapatkan penolakan dari berbagai pihak seperti kelompok Islam, partai, purnawirawan TNI, hingga aktifis.

    Melansir dari catatan Rapat Badan Legislasi Pengambilan Keputusan Atas Penyusunan Rancangan Undang-Undang Tentang Haluan Ideologi Pancasila tanggal 22 April 2020, RUU HIP yang diusul oleh DPR RI dan disebut telah ditetapkan dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2020.

    Proses perjalanan pembahasan RUU HIP:

  • 11-12 Februari 2020: Rapat dengar pendapat umum yang dilaksanakan Baleg dengan mengundang para pakar. Kedua rapat tersebut dipimpin langsung oleh Wakil Ketua Baleg DPR RI Fraksi PDIP Rieke Diah Pitaloka. 
  • 11 Februari, rapat mengundang Jimly Asshiddiqie dan Adji Samekto.
  • 12 Februari pemaparan tim ahli. Tapi dijelaskan siapa saja tim ahli dan isi paparan yang akhirnya membentuk Naskah Akademik dan draf RUU.
  • 8 April 2020: Digelar Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU HIP.
  • 13 dan 20 April 2020: Rapat tertutup. Dipimpin Rieke Diah Pitaloka. Isi rapat dan kesimpulan tidak bisa diakses.
  • 22 April 2020: Baleg menggelar rapat Pengambilan Keputusan Fraksi atas RUU itu. Rapat dipimpin Rieke. Hampir semua fraksi setuju. Hanya PKS yang menolak karena RUU ini tak mengakomodasi TAP MPRS tentang pelarangan komunisme. Seperti tertulis dalam kesimpulan rapat.
  • 12 Mei 2020: DPR resmi menetapkan RUU itu menjadi inisiatif DPR dan menunggu surpres persetujuan Presiden Joko Widodo untuk pembahasan. 

Isi RUU HIP ada 10 bab yang terdiri dari 60 pasal:

  1. Ketentuan Umum, memuat 1 pasal
  2. Haluan Ideologi Pancasila, memuat 5 bagian dan 17 pasal

  3. Haluan Ideologi Pancasila sebagai Pedoman Pembangunan Nasional, memuat 15 pasal

  4. Haluan Ideologi Pancasila sebagai Pedmoan Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan

    Teknologi, memuat 3 pasal

  5. Haluan Ideologi Pancasila sebagai Pedoman Sistem Nasional Kependudukan dan

    Keluarga, memuat 3 pasal

  6. Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila, memuat 3 bagian dan 15 pasal

  7. Partisipasi Masyarakat, memuat 1 pasal

  8. Pendanaan, memuat 1 pasal

  9. Ketentuan Peralihan, memuat 1 pasal

  10. Ketentuan Penutup, memuat 3 pasal 


    Lantas, apa yang menimpa RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) ini sehinga mendapatkan banyak sekali kritikan dan penolakan? 

    RUU HIP menuai polemik publik. Substansi dalam RUU HIP yang memicu kontroversi ini terdapat dalam point point krusial dalam RUU HIP: 

a. Konsep Trisila dan Ekasila

    Sebab draft RUU tersebut memuat klausal Trisila dan Ekasila di dalam salah satu pasalnya tertuang dalam Pasal 7 dan memuat 3 ayat.

    Trisila adalah Sosio-Nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebuyaan. Trisila terkristalisasi dalam EKASILA yaitu gotong royong.

b. Larangan Komunisme

    Pokok pemicu polemik berikutnya yaitu terdapat di awal draf RUU HIP. Pada bagian ‘mengingat’ ternyata tidak mencantumkan Tap MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran partai komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di seluruh Wilayah Negara, dan Larangan kegiatan untuk menyebarkan mengembangkan faham atau ajaran komunis/marxisme-leninisme.

    Menurut Mahfud MD, Tap MPRS yang mengatur tentang larangan ajaran komunisme/marxisme itu merupakan produk hukum mengenai perturan perundang- undangan yang mengikat.

c. BPIP Diisi TNI-Polri Aktif

    Dalam draf RUU HIP memuat ketentuan TNI dan Polri aktif bisa mengisi jabatan sebagai Dewan Pengarah Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP). Dalam Pasal 47 ayat (2) RUU HIP menyebut Dewan Pengarah BPIP berjumlah paling banyak 11 (sebelas) orang atau berjumlah gasal, yang berasal dari:

1. unsur Pemerintah Pusat;

2. unsur tentara nasional Indonesia, kepolisian negara Republik Indonesia, dan aparatur sipil negara, atau purnawirawan/ pensiunan;

3. unsur akademisi, pakar, dan/atau ahli; dan

4. unsur tokoh masyarakat.

    Muatan dalam draf RUU itu dinilai tak sejalan dengan aturan sebelumnya, seperti yang termaktub dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 tahun 2018 tentang BPIP. Dalam Perpres tersebut, BPIP hanya membolehkan purnawirawan mengisi jabatan. 

    Kemudian selanjutnya, Allan Fatchan Gani Wardhana, S.H., M.H. selaku Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII memberikan beberapa catatan kritis mengenai RUU HIP. Beliau menjelaskan bahwa dalam Pasal 7, terdapat peluang untuk memeras Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Karena hal demikian dapat ditafsirkan secara "liar" namun yang kita ketahui, bahwa kedudukan 5 sila Pancasila saling berkaitan satu sama lain. Disamping adanya peluang pemerasan Pancasila pada Pasal 7 RUU HIP tersebut, RUU HIP juga tidak menyebutkan TAP MPR XXV/1966 sebagai konsideran. Maka dengan demikian akan berimplikasi pada RUU HIP dapat menegasikan substansi TAP MPR tersebut. Terlebih jika dikaji, kedudukan TAP MPR berdasarkan Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 berada diatas UU.

    Lantas bagaimana kelanjutan RUU HIP?

    Setelah penundaan yang diputuskan oleh pemerintah lalu muncul usulan RUU BPIP sebagai pengganti RUU HIP yang ramai menuai penolakan. Konsep baru RUU BPIP (Rancangan Undang- Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) diberikan pemerintah kepada DPR pada Kamis 16/7/2020. Apa bedanya RUU HIP dengan RUU BPIP? Apakah dengan adanya RUU BPIP tidak akan menimbulkan kembali kontroversi publik dan multi tafsir Pancasila lainnya? Mengapa tidak dihapuskan saja?

    Selanjutnya akan kita bahas di next blog suara millennial edisi part 2 “Ada apa dengan RUU HIP?” 

Comments

Popular posts from this blog

URGENSIKAH KENAIKAN IURAN BPJS 2020?

Implementasi Konsep Negara Kesejahteraan Dengan Praktik Tindakan Pemerintah (Freies Ermessen) Dalam Negara Hukum.