URGENSIKAH KENAIKAN IURAN BPJS 2020?




    Pemerintah melalui Peraturan Presiden No 64 Tahun 2020 yang telah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada tanggal 5 Mei 2020 mengejutkan sebagian rakyat Indonesia. Pasalnya, di dalam Peraturan Presiden atau Perpres tersebut, Presiden Jokowi menaikkan iuran untuk masing-masing kelas yang pada awalnya untuk kelas I ialah sebesar 80.000 rupiah menjadi 150.000 rupiah, untuk kelas II yang awalnya 51.000 rupiah menjadi 100.000 rupiah, dan kelas III tidak terdapat perubahan iuran yaitu 25.500 rupiah. Lantas timbul pertanyaan, sebenarnya mengapa hal ini bisa terjadi sedangkan sebelumnya Perpres No 75 Tahun 2019 telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung berdasarkan pada Putusan MA No 7/P/HUM/2020. Apakah alibi pemerintah yang menyatakan bahwa kenaikan iuran tersebut digunakan untuk menutupi defisit BPJS pada Februari 2020 sebesar 12,3 Trilliun rupiah relevan? Dan apakah kenaikan ini justru menjadi beban tersendiri bagi rakyat Indonesia di tengah wabah pandemi COVID-19? Mari kita tinjau baik dari segi yuridis maupun sosial-ekonomi yang terjadi di masyarakat.


Arah Perpres No 64 Tahun 2020

    Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar melalui finansial.bisnis.com menyatakan bahwa penilaiannya tentang Perpres No 64 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan akan memberatkan masyarakat. Pasalnya, Peraturan Presiden No 64 Tahun 2020 ini akan diberlakukan pada 1 Juli 2020 mendatang dimana yang kita ketahui situasi sosial-ekonomi masyarakat masih dalam keadaan kritis disebabkan oleh wabah pandemi COVID-19 ini. Berbagai sektor yang terdampak wabah pandemi tersebut terpaksa mengambil kebijakan untuk melakukan PHK terhadap para tenaga kerja. Ada kurang lebih 375.165 pekerja formal yang di-PHK, 1.032.999 pekerja formal yang dirumahkan, dan 314.833 pekerja informal yang terdampak. Sehingga total ada 1.722.958 pekerja yang terdampak akibat pandemi ini, sesuai dilansir di https://nasional.kontan.co.id/  


Tentunya, jika dicermati pengadaan kenaikan iuran BPJS di tengah pandemi ini dirasa akan sangat memberatkan masyarakat yang ekonominya sangat terdampak, belum lagi bagi mereka yang di PHK, tentu akan sangat sulit untuk membayar kenaikan iuran BPJS ini disamping mereka juga kesulitan dalam membayar kehidupan sehari-hari mereka.


    Alasan pemerintah menaikkan iuran BPJS ini dilatabelakangi oleh keadaan keuangan BPJS yang defisit senilai 13 Trilliun rupiah pada 2019. Namun, defisit tersebut telah ditalangi oleh pemerintah dengan mengucurkan dana sebesar 15 Trilliun rupiah, lagi-lagi BPJS tetap defisit keuangan. Maka dari itu, Presiden segera bertindak tegas dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No 75 Tahun 2018 Tentang jaminan Kesehatan untuk menaikkan iuran BPJS tersebut dan akan diberlakukan pada 1 Januari 2020. Namun, pada tahun yang sama terdapat gugatan ke Mahkamah Agung untuk membatalkan Peraturan Presiden tersebut setelah diadakannya Uji Materiil terhadap Perpres No 75 Tahun 2019 dengan mempertimbangkan bahwa Perpres tersebut tidak mempertimbangkan keadaan dan kemampuan masyarakat. Pada Februari 2020, secara resmi Mahkamah Agung membatalkan Perpres tentang kenaikan BPJS tersebut.


Kemudian pada Mei 2020, Presiden Jokowi kembali mengeluarkan Perpres terkait kenaikan iuran BPJS melalui Peraturan Presiden No 64 Tahun 2020 dengan alasan bahwa BPJS defisit anggaran sebesar 15,5 Trilliun rupiah pada Februari 2020 dengan rincian kenaikan iuran sebagai berikut

Kelas I dari 80.000 rupiah menjadi 150.000 rupiah.

Kelas II dari 51.000 rupiah menjadi 100.000 rupiah.

Kelas III tetap menjadi 25.500 rupiah.

Kenaikan iuran ini diperuntukkan bagi PBPU atau Pekerja Bukan Penerima Upah dan BP atau Bukan Pekerja baik penyelenggara negara maupun bukan penyelenggara negara berdasar pada Pasal 34 ayat (1) hingga ayat (9) Peraturan Presiden No 64 Tahun 2020.


    Kenaikan iuran ini mencuat kontroversi di tengah masyarakat. Pasalnya, jika kita berkaca pada situasi dan kondisi terkini, Perpres tersebut dikeluarkan di tengah masa wabah pandemi yang tentunya akan menjadi beban masyarakat. Jika negara lain seperti Jepang, Australia, dan Singapura memberi tunjangan kesehatan kepada masyarakatnya, Indonesia malah memberi beban kepada masyarakatnya dengan kenaikan iuran BPJS tersebut. Padahal, jika kita melihat Pasal 38 ayat (1) Perpres No 64 Tahun 2020 tersebut yang menyatakan bahwa kenaikan iuran harus mempertimbangkan kemampuan masyarakat. Konsekuensinya ialah, antara situasi yang terjadi dengan substansi pasal tersebut memiliki korelasi dimana Perpres ini justru konfrontatif dengan situasi yang terjadi. 


Sebenarnya, yang merasakan beban terhadap iuran ini bukan hanya dari golongan kelas III, namun dari golongan kelas I dan II merasakan yang sama. Timboel Siregar mengungkapkan melalui akun YouTube WatchDoc bahwa kenaikan iuran BPJS ini hendaknya ditunda dan bukan ditetapkan disaat keadaan perekonomian masyarakat dihantam oleh wabah pandemi ini atau timingnya tidak tepat. 


Jika pemerintah beralasan bahwa kenaikan BPJS ini dilakukan untuk menutupi defisit anggaran sebesar 15,5 Trilliun rupiah. Maka sebenarnya, apa yang menyebabkan defisit anggaran itu terjadi? Apakah pemberlakuan kenaikan iuran bisa dikatakan relevan untuk mengatasi defisit anggaran BPJS?? 


    Perlu diketahui bahwa BPJS Kesehatan yang mengalami defisit anggaran tidak terjadi begitu saja. Penyebab pertama ialah besarnya tunggakan iuran. Tunggakan iuran peserta mandiri mencapai 12,3 Trilliun rupiah yang mencakupi kurang lebih 30 juta orang dari Kelas I sebanyak 3,5 juta, Kelas II sebanyak 5,5 juta orang, dan Kelas III sebanyak 21 juta orang. Jika besarnya iuran sebelumnya sudah membengkaki anggaran BPJS sehingga defisit, maka kenaikan iuran melalui peraturan terbaru berpeluang menjadi boomerang bagi BPJS dimana defisitnya semakin melebar. Maka problema pada penyebab pertama ialah, memperkecil tunggakan dan bukan menaikkan iuran. 

 

Selain besarnya tunggakan iuran, penyebab terjadinya defisit anggaran BPJS juga disinyalir dari kurangnya optimal penerimaan melalui pajak rokok yang bisa menyumbang sebesar 5,9 Trilliun rupiah. Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 99 ayat (6) Perpres No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan Nasional. Besarnya kontribusi pajak rokok diambil 75% atau 3/4 dari 50% penerimaan pajak rokok ke Pemerintah Daerah. Jika BPJS Kesehatan sendiri mengoptimalkan antara 2 penyebab tadi, maka total penerimaan BPJS akan menjadi 18,2 Trilliun rupiah. BPJS pun tidak hanya dapat menutupi defisitnya, akan tetapi akan mendapatkan surplus sebesar 2,7 Trilliun jika digunakan pendekatan surplus-defisit. Namun, perlu diketahui adanya BPJS Kesehatan ini ialah sebagai lemabag untuk menjamin kesehatan warga negara sebagaimana yang telah diamanatkan Pasal 34 ayat (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945 tentang tanggungjawab negara atas jaminan sosial dan penyediaan fasilitas kesehatan. 


Adanya praktik manipulasi di BPJS atau (fraud) yang telah disoroti oleh KPK, salah satu bentuk dari fraud ini adalah upcoding atau mendiagnosa secara berlebihan terhadap penyakit pasien atau dalam bahasa kesehatan disebut Mark Up diagnosis. Misalnya seseorang yang mengalami suatu penyakit biasa, namun oleh pihak BPJS dianggap sebagai penyakit serius. Selain praktik manipulasi, WatchDoc juga dalam kanal YouTubenya menegaskan tentang praktik readmisi atau pendaftaran kembali pasien BPJS ke RS. Praltik readmisi ini dijumpai dengan pelayanan RS yang kurang optimal dengan pasien dianjurkan untuk pulang namun kondisi atau penyakit yang dialami seorang pasien belum tuntas. Sehingga, pasien tersebut kembali lagi ke RS akibat penyakitnya yang kembali kambuh. Praktik ini sering dijumpai pada seseorang yang mengalami asma. Sehingga karena pasien datang 2 kali ke RS, maka pihak RS akan menagih ke BPJS sebanyak 2 kali pembayaran. Maka solusi yang ditimbulkan akibat hal ini ialah, BPJS perlu menggalakkan yang namanya pengawasan terhadap pihak RS sehingga pihak BPJS sendiri tidak dirugikan akibat adanya tindakan fraud yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggungjawab. 


    Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani juga mengungkapkan terkait penyebab adanya defisit BPJS Kesehatan, yaitu banyaknya Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) yang bekerja di sektor mandiri atau informal yang hanya mendaftar BPJS saat jatuh sakit dan tidak membayar iuran kembali setelah mendapatkan layanan kesehatan. Tentunya hal ini perlu diantisipasi dengan memperbaiki kebijakan terkait. Disamping itu, Sri Mulyani juga menambahkan mengenai penyebab defisit anggaran BPJS yaitu angka iuran yang masih dibawah angka hitungan ideal atau underpriced, rendahnya tingkat keaktifan peserta membayar iuran, dan beban pembayaran untuk penyakit kastratropik yang harus ditanggung oleh BPJS sudah terlalu besar. 


Selama masa pandemi ini, dicatat bahwa jumlah kunjungan ke Rumah Sakit (RS) menurun drastis hingga 70% dan akan menurun selama wabah pandemi ini, dengan alasan bahwa Rumah Sakit (RS) sebagai kawasan dengan penyebaran virus lebih banyak dan rentan. Oleh karena itu, penurunan angka kunjungan ini turut menurunkan dana alokasi untuk membayar tagihan Rumah Sakit menurun hingga mencapai 112,2 Trilliun rupiah. Selain itu, perlu adanya penekanan terhadap angka tingkat rujukan dan mengoptimalisasi rujukan ke Tingkat Pertama yaitu Puskesmas dan tidak langsung dirujuk ke Rumah Sakit.


Jalan Pintas Menutupi Defisit BPJS ala Pemerintah

    Timboel Siregar sebagai Koordinator Advokasi BPJS Watch mengungkapkan, muara terjadinya defisit anggaran BPJS ialah adanya tunggakan iuran. Dengan adanya kenaikan iuran BPJS ini, maka akan sangat berpotensi memperlebar tunggakan iuran BPJS disebabkan ketidakmampuan masyarakat dalam membayar. Sehingga akan terjadi perubahan dari peserta aktif menjadi peserta non-aktif. 


Dengan adanya tunggakan iuran BPJS ini akan mengakibatkan defisit anggaran sehinga BPJS tidak dapat membayar tagihan kepada pihak Rumah Sakit dan tentunya akan berdampak kepada para pasien yang akan terlambat mendapatkan penanganan dari Rumah Sakit. 


Solusi yang ditawarkan pemerintah dengan menaikkan iuran tentu dinilai kurang tepat selain ketidakmampuan masyarakat dalam membayar iuran selama masa wabah pandemi ini dan juga pemerintah kurang melihat penyebab defisit anggaran dari tunggakan iuran, penerimaan dari pajak rokok, hingga praktik-praktik fraud yang terjadi di lapangan. Bijaknya, pemerintah tidak perlu menggunakan jalan pintas untuk menutupi defisit anggaran BPJS melalui kenaikan iuran, justru kenaikan iuran itu akan menjadi boomerang sendiri bagi BPJS. Disamping itu, perlu adanya restrukturisasi pemanfaatan dana BPJS agar tepat sasaran, adanya pengawasan baik internal maupun eksternal terhadap pelaksanaan program BPJS, dorongan adanya kebijakan dokter keluarga yang memiliki kemampuan spesialis, dan melakukan audit medit terhadap rujukan dokter kepada pasien. 


Ketidakpatuhan Pemerintah Terhadap Putusan Pengadilan

    Pakar Hukum Tata Negara UNS, Dr. Ishartoyo, S.H., M.Hum. menanggapi kenaikan iuran BPJS melalui Perpres No 64 Tahun 2020 menunjukkan ketidakpatuhannya terhadap putusan MA. Meningat kenaikan iouran BPJS ini telah dibatalkan oleh MA pada Februari 2020 lalu, namun di bulan Mei, Presiden Jokowi justru menerbitkan kembali Perpres untuk menaikkan iuran BPJS tersebut sebagamana dilansir melalui tribunnews.com 


Dalam hukum terdapat istilah doktrin presumptio dalam hal ini bermakna bahwa peraturan pemerintah akan senantiasa berlaku dan dianggap sah jika belum dicabut dan dibatalkan oleh lemaga peradilan. Dengan demikian, kehadiran Perpres No 64 Tahun 2020 ini dapat dipersoalkan kembali di Mahkamah Agung. 


Kemudian disini muncul pertanyaan, apakah Putusan peradilan Mahkamah Agung memiliki kekuatan yang mengikat terhadap peraturan yang telah dibatalkan? 


    Sebagaimana yang kita ketahui, di dalam Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menjelaskan tentang kewenangan Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah UU. Selain Pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945, terdapat juga di Pasal 20 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman, Pasal 31 ayat (1) UU Mahkamah Agung, Pasal 9 ayat (2) UU PPP, dan PMA No 1 Tahun 2011. Di dalam PMA No 1 Tahun 2011, dikenal istilah Hak Uji Materiil oleh Mahkamah Agung. Kaitannya dengan Putusan Uji Materiil, maka dikenal 3 putusan amar sebagaimana yang disampaikan oleh Harry Setya Nugraha, S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman). Sifat putusan Uji Materiil Mahkamah Agung yaitu peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan putuan permohonan keberatan tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali. Mengenai putusan amar kedua yaitu pelaksanaan keputusan, dalam 90 hari setelah putusan Mahkamah Agung ternayat pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, maka demi hukum Per-UU yang bersangkutan tidak memiliki kekuatan hukum. Terakhir, putusan mengabulkan, MA dalam putusannya memerintahkan kepada pejabat terkait atau instansi yang bersangkutan untuk segera mencabutnya dan peraturan Per-UU tersebut tidak sah atau tidak berlaku umum. 


Problemnya setelah diketahui bahwa Presiden Joko Widodo kembali menaikkan iuran BPJS melalui Perpres No 64 Tahun 2020 dimana Perpres sebelumnya telah diatalkan oleh MA pada Februari 2020 dengan pertimbangan bahwa kenaikan iuran tersebut tidak mempertimbangkan kemampuan masyarakat baik dari aspek yuridis, sosiologis dan filosofis. Maka, ketidak tegasan politik hukum negara dalam hal mendorong kepatuhan lembaga negara untuk melaksanakan Putusan Peradilan. 


Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M. mengungkapkan, hubungannya dengan Putusan baik Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi tidak memiliki yang namanya eksekutor atau non self-implementing. Maka, diperlukan kepekaan atau kesadaran pejabat negara atau lembaga negara untuk menghormati dan menjalankan putusan peradilan sebagaimana mestinya. Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M. juga menambahkan sebagaimana dikutip di LegalTalk volume V pada Mei 2020 lalu, “Jika pemerintah keliru dalam menetapkan kebijakan, maka kekuasaan yudisial hadir untuk melakukan koreksi. Ketika vonis dijatuhkan, putusannya bersifat final dan mengikat kepada seluruh lembaga negara dan warga negara. Konsepsi itu pun berlaku pada perkara pengujian peraturan di MA. Suka tidak suka, mau tidak mau, pemerintah harus patuh atas vonis pengadilan. Bukan sebaliknya, menegasikan atau menentang atas nama kepentingan kekuasaan.”


Uji Materiil Perpres No. 64 Tahun 2020

    Pada 6 Agustus 2020 silam, permohonan Hak Uji Materiil terhadap Peraturan Presiden No. 64 Tahun 2020 telah ditolak oleh Mahkamah Agung. Permohonan HUM tersebut diketuk oleh ketua majelis hakim Supandi dan Yodi Martono serta Is Sudaryono, sebagaimana dilansir di https://www.cnnindonesia.com/ pada 11 Agustus 2020. Disamping itu, KPCDI selaku pihak yang menggugat untuk melakukan Hak Uji Materiil terhadap Perpres No. 64 Tahun 2020 ini menyesalkan bahwa Mahkamah Agung menolak gugatan tersebut berdasarkan Perkara Nomor register 39/P/HUM/2020. Mengingat sifat putusan MA ini harus ditaati dan tidak adanya hak untuk melakukan PK atau Peninjauan Kembali terhadap Hak Uji Materiil suatu peraturan perundang-undangan dibawah UU oleh pihak yang menggugat. Alasan mengapa Perpres No 64 Tahun 2020 ini diuji materiil ialah untuk mengetahui seberapa besar kemampuan ekonomi masyarakat dalam hal membayar iuran BPJS Kesehatan. Dengan adanya HUM tersebut, KPCDI mencoba untuk mengingatkan kepada pemerintah untuk selalu mempertimbangkan segala kebijakan yang erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat secara luas.**

Comments

Popular posts from this blog

Implementasi Konsep Negara Kesejahteraan Dengan Praktik Tindakan Pemerintah (Freies Ermessen) Dalam Negara Hukum.

ADA APA DENGAN RUU HIP?