DINAMIKA PARTISIPASI RAKYAT DALAM BERNEGARA
Bila kita melihat realita yang terjadi di tengah-tengah masyarakat mengenai partisipasi rakyat dalam bernegara, maka kita akan banyak sekali menemukan contoh-contoh konkretnya. Sebagai contoh, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden negara ini dilakukan melalui pemilihan umum secara langsung oleh masyarakat yang dilaksanakan oleh lembaga negara bernama KPU atau Komisi Pemilihan Umum. Indonesia sendiri telah menyelenggarakan pemilu secara langsung sejak 2004 lalu hingga 2019 lalu. Jika ditelaah lebih lanjut, partisipasi rakyat diatas sama dengan pengertian kedaulatan rakyat yang dimaksud oleh Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Maksudnya ialah, dalam bernegara, kekuasaan tertinggi berada dibawah tangan rakyat, sedangkan pemerintah hanyalah sebagai representatif dari kehendak rakyat. Penyelenggaraan negara dilakukan oleh pemerintah dengan keterlibatan rakyat di dalamnya melalui lembaga-lembaga negara yang wewenangnya diatur dalam UUD 1945.
Dari penjelasan singkat diatas, kita akan menemukan fakta bahwa sistem yang dianut oleh Indonesia adalah sistem kenegaraan berdasar kedaulatan rakyat dimana rakyat sebagai pemegang kekuasaan dalam penyelenggaraan negara. Dalam penyelenggaraan negara melalui teori kedaulatan rakyat, rakyat mempercayakan kepada lembaga-lembaga negara sesuai UUD 1945 untuk melaksanakan dan menduduki cabang-cabang pemerintahan seperti eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga negara independen. Disamping melaksanakan keinginan rakyat, lembaga-lembaga negara tersebut juga turut menjaga dan melidungi hak-hak yang dimiliki oleh rakyat. Dari sini, kita akan mengenal benih-benih paham negara demokrasi, sesuai dengan pengertian demokrasi milik Abraham Lincoln, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari, oleh dan untuk rakyat. Selain Abraham Lincoln, Hans Kelsen juga mencoba memberi pengertian terhadap demokrasi, yaitu demokrasi ialah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat. Yang melaksanakan kekuasaan Negara ialah wakil-wakil rakyat yang terpilih. Dimana rakyat telah yakin, bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan i dalam melaksanakan kekuasaan Negara.
Namun, di dalam tulisan ini, kami tidak akan menguraikan penjelasan lebih dalam mengenai teori kedaulatan rakyat dan demokrasi yang banyak ditemukan di berbagai literatur bacaan. Namun, kami akan lebih membahas secara mendalam mengenai dinamika partisipasi rakyat dalam bernegara dengan tinjauan historis-yuridis berdasar pada konstitusi Indonesia dengan korelasi terhadap lembaga negara menurut UUD 1945.
Reformasi Indonesia dan Amandemen Konstitusi
Secara historis ketatanegaraan, Indonesia mengalami beberapa babak era dari awal kemerdekaan hingga dewasa ini. Awal kemerdekaan kita mengenal istilah era lama atau Orde Lama yang dimulai sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 hingga kejadian pilu bangsa ini, G30S/PKI. Kejadian tersebut sebagai penutup dari kisah atau babak Orde Lama selama 21 tahun yang dipimpin oleh Ir. Sukarno. Kemudian Presiden Ir. Sukarno mangkat dari jabantannya dan digantikan oleh Presiden Suharto dengan babak Orba atau Orde Baru yang berkuasa di panggung pemerintahan selama 32 tahun lamanya. Terlepas dari berbagai problematika di dalamnya yang turut menjadi salah satu alasan mengapa konstitusi kita diamandemen dan Indonesia mengalami masa reformasi ketetanegaraan, Presiden Suharto dikenal sebagai Bapak Pembangunan Indonesia dengan pembangunan secara masif di berbagai daerah. Pada 1998, Presiden Suharto secara resmi mundur sebagai presiden Indonesia dengan berbagai permintaan dari kalangan, khususnya berbagai mahasiswa di Indonesia. Setelah 1998, Indonesia memulai babak baru bernama reformasi, di babak inilah terjadi amandemen konstitusi kita yang sebelumnya pada Orde Baru disakralkan.
Ada beberapa latar belakang mengapa Indonesia mengalami reformasi, dari konstitusi kita sendiri, banyak aturan yang terkandung di dalam UUD 1945 yang dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada. Disamping konstitusi atau UUD 1945 yang tidak sesuai dengan tuntunan zaman, pemerintah sendiri telah mengalami distrust dari masyarakat secara luas dengan berbagai praktek penyalahgunaan jabatan seperti KKN atau Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ditambah lagi dengan problematika krisis ekonomi sehingga menyebabkan krisis moneter yang melanda Indonesia di akhir kepemimpinan rezim Orde Baru. Maka dari itu, Indonesia menghadapi problematika baik dari internal birokrasi maupun dari eksternal yaitu masyarakat luas. Selain itu, hal ini didorong juga oleh realita bahwa UUD 1945 sudah tidak sejalan dengan konsepsi negara berdasarkan konstitusi yang mewujudkan kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, dan menjamin kemerdekaan kehakiman.
Prof. Bagir Manan mencoba menguraikan ada 5 alasan mengapa UUD 1945 diamandemen, yaitu secara historis, filosofis, teoritis, substantif, dan praktis. Kelima alasan tersebut menjadi dasar penguat mengapa UUD 1945 diamandemen, khususnya pada alasan secara teoritis yang memiliki korelasi dengan judul pada tulisan kami ini.
Secara teoritis, UUD 1945 diamandemen dikarenakan tidak adanya pertemuan antara permintaan masyarakat secara luas dengan perkembangan yang ada. Contohnya, sebelum adanya amandemen konstitusi atau UUD 1945, partisipasi masyarakat dalam bernegara kurang mendapat tempat yang jelas, namun pasca amandemen UUD 1945, partisipasi masyarakat dalam bernegara mendapatkan porsi yang besar. Konkritnya, dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen disebutkan bahwa, jika masyarakat merasakan ada peraturan dibawah UU yang bertentangan dengan UU, maka masyarakat bisa langsung melaksanakan JR atau Judicial Review ke Mahkamah Agung melalui hak uji materiil. Maka, peran partisipasi masyarakat disini sebagai pengawas terhadap produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah (legislatif) sebagai lembaga pembentuk UU.
Selain itu, kita dapat melihat bentuk lain dari partisipasi rakyat secara langsung dalam pesta demokrasi 5 tahun sekali yaitu pemilihan umum calon Presiden dan Wakil Presiden negara ini sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Namun, dahulu Presiden dan Wakil Presiden dipilih melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga negara tertinggi pemegang kekuasaan rakyat. Maka dari ketentuan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen menegaskan bahwa MPR tidak lagi berwenang memilih Presiden dan Wakil Presiden Indonesia dan mengembalikan partisipasi rakyat secara penuh dalam pemilihan pemimpin negara mereka yaitu Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Disamping itu, ketentuan mengenai penghapusan kewenangan MPR dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden mengisyaratkan kepada kita bahwa bukan MPR saja sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi kedaulatan rakyat. Akan tetapi, seluruh lembaga negara menjalankan fungsi kedaulatan rakyat.
Peran rakyat sebagai pemegang penuh kedaulatan rakyat juga direpresentasikan melalui berbagai komposisi lembaga negara dimana wewenangnya diatur dalam UUD 1945. Jika dahulu hanya MPR saja yang bertindak sebagai pemegang kedaulatan atas rakyat, namun setelah adanya amandemen Perubahan Ketiga Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat secara langsung dan dilaksanakan melalui lembaga negara menurut UUD 1945.
Jika kita melihat secara historis mengenai kedaulatan rakyat, pada babak Orla dan Orba dimana pemerintah bersifat tertutup dengan menjadikan MPR sebagai lembaga negara pemegang kedaulatan rakyat, tentunya hal tersebut pada eranya menggeserkan fungsi checks and balances antar lembaga-lembaga negara. Fungsi checks and balances ini dikenal dalam sistem pemerintahan presidensial.
Apabila diasumsikan bahwa suatu lembaga negara memegang suatu kekuasaan tertinggi tanpa adanya fungsi akuntablitas, maka lembaga negara tersebut bisa saja menyalahi aturan yang ada akibat ketidakadaan fungsi pengawasan. Dengan asumsi dasar ini, teori kedaulatan rakyat yang dianut oleh Indonesia yang awalnya dipegang oleh suatu lembaga negara digantikan dengan rakyat sebagai pemegang utama kedaulatannya berdasar konstitusi.
Sebagai tambahan, teori kedaulatan rakyat yang digaungkan pasca amandemen UUD 1945 tidak hanya berkutat pada pemilu belaka, namun juga sebagai dasar kerangka pada produk-produk hukum lainnya seperti Judicial Review baik ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, Pasal 28F UUD 1945 dan dilanjutkan dengan UU Kebebasan Memperoleh Informasi, dan lain sebagainya.
Kesimpulan
Berbagai kelemahan yang terjadi pada konstitusi lama menjadi alasan kuat untuk diadakannya amandemen UUD 1945 dengan memperhatikan lebih jelas keinginan masyarakat secara luas dan membumikan konsep kedaulatan rakyat. Hal ini tentu berdampak pada substansi produk-produk hukum yang lain dalam mengikutsertakan masyarakat dalam bernegara, seperti UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 12 Tahun 2011) dengan memasukkan bab tentang partisipasi masyarakat. Maka kesimpulanya ialah, sejak diadakan amandemen terhadap UUD 1945 dari 1999 hingga 2002, menjadi gerbang awal Indonesia untuk membumikan teori kedaulatan rakyat. Partisipasi rakyat dalam bernegara dirasakan lebih menyentuh pasca amandemen UUD 1945 dibandingkan sebelum adanya amandemen UUD 1945. Akan tetapi, jika dilihat pada kacamata realitas, teori kedaulatan rakyat tetap memiliki kelemahan dalam pelaksanaannya atau implementasinya di lapangan pembentukan peraturan perundang-undangan. Banyak juga diantara peraturan perundang-undangan yang sengaja dibentuk sebagai alat legitimasi kekuasaan atas suatu kelompok atau golongan tertentu yang berkepentingan. Disisi lain, kita sebagai masyarakat juga diberi hak untuk menguji peraturan tersebut jika dirasa bertenttangan dengan peraturan diatasnya melalui hak uji materiil.
Comments
Post a Comment