MASYARAKAT ADAT : DIAKUI NAMUN TERMARGINALKAN

 


    Beberapa hari terakhir ini, media kita disuguhkan oleh kasus-kasus berkaitan dengan masyarakat hukum adat. Sepekan lalu, tepatnya sehari setelah perayaan kemerdekaan Indonesia yang gegap gempita walau dalam kondisi pandemi, saudara kita masyarakat adat Besipae digusur secara paksa dari hutan adat Pubabu di Linamnutu, Amunaban Selatan, Kabupaten Timur Tengah Selatan, NTT yang rencananya akan dimanfaatkan untuk perkebunan, perikanan, dan pariwisata. Belum lama kasus tersebut muncul di permukaan, kini kasus yang sama terjadi terhadap masyarakat adat Laman Kinipan yaitu kriminalisasi terhadap Ketua Adat Kinipan oleh Polda Kalimantan Tengah, Effendi Buhing karena dianggap melakukan pencurian terhadap mesin-mesin penebangan hutan. Effendi Buhing dan beberapa tokoh adat lama Kinipan melakukan penolakan terhadap rencana pembuatan perkebunan kelapa sawit yang menggunakan hutan adat Laman Kinipan. 


Jika dilihat dari kedua kasus diatas, maka keduanya memiliki latar belakang problematika yang sama yaitu terkait problematika agraria, khususnya konflik vertikal antara masyarakat adat dengan aparatur penegak hukum. Sebagaimana dilansir melalui https://www.bbc.com/indonesia/, berdasarkan data dari Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria atau TPPKA - Kantor Staf Kepresidenan (KSP) menyebutkan terdapat 666 kasus konflik agraria yang dilaporkan sepanjang tahun 2016 hingga 2019 yang melibatkan 176.132 kepala keluarga dan 1.457.084 hektare lahan. Kemudian ditambah dengan data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam beberapa bulan sejak Maret hingga awal Juli 2020, telah terjadi 28 konflik agraria yang diikuti dengan “kriminalisasi”.


Maraknya konflik antara masyarakat adat dan instansi pemerintahan atau institusi swasta seperti perusahaan menjadi pertanyaan besar terhadap dalam benak kita. Apakah pemerintah melalui instrumen-instrumen hukumnya benar-benar mengakui dan melindungi eksistensi masyarakat adat beserta seperangkat elemen di dalamnya? Secara historis kita mengetahui bahwa NKRI tersusun oleh masyarakat-masyarakat adat di setiap daerah di Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Faktanya, masyarakat adat di Nusantara sendiri telah mendapatkan pengakuan oleh pemerintah kolonial melalui kebijakan yang tertuang di dalam Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) tentang pembagian golongan penduduk Hindia Belanda, yaitu golongan Eropa termasuk Jepang, Timur Asing (India, Arab), dan Bumiputera atau Inlander. Dari kebijakan tersebut, sebagaimana yang disampaikan oleh H. Riduan Syahrani, S.H., M.H. di bukunya bahwa bagi orang-orang golongan Eropa berlaku hukum perdata di negeri Belanda dan orang-orang dari golongan lain berlaku hukum adatnya masing-masing. Maka demikian, pemerintah kolonial Belanda telah mengakui keberadaan hukum adat di Indonesia.


    Dahulu saat Belanda menjajah Indonesia, berbagai kebijakan yang dikeluarkan terkait hubungannya dengan masyarakat adat hanya berkonsentrasi pada hukum perdata saja seperti hubungan bisnis antara masyarakat adat dengan penjajah maupun masyarakat adat dengan golongan Tionghoa. Di dalam artikel ini, kami tidak akan membahas secara detail tentang sejarah masyarakat adat namun kami ingin lebih memfokuskan diskusi ini dari pandangan konstitusional tentang eksistensi masyarakat adat hingga tantangan dalam realitas masyarakat adat di Indonesia.


Masyarakat Adat Menurut Konstitusi Indonesia


    Telah disinggung diawal, Indonesia terbentuk dari berbagai macam masyarakat adat yang bersatu untuk membentuk sebuah negara bernama Negara Republik Indonesia. Sebagaimana yang telah dilansir dari web resmi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, https://www.aman.or.id/ bahwa anggota AMAN adalah 2.369 komunitas adat di seluruh Nusantara dengan total anggota individu mencapai 17 juta orang dan tentunya angka tersebut masih belum termasuk dengan komunitas-komunitas adat yang belum terjamah.


Dikarenakan Indonesia terbentuk oleh satuan-satuan masyarakat adat di seluruh Indonesia, maka ketentuan di dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea Keempat yang berbunyi negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan melindungi seluruh tumpah darah Indonesia. Pemerintah melalui pembentukan konstitusi yang panjang telah mengatur tentang pengakuan tentang masyarakat hukum adat yang termaktub di dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Seiring berjalannya waktu, pengakuan eksistensi masyarakat adat mengalami penurunan atau degradasi disebabkan orientasi pemerintah untuk modernisasi sehingga menyebabkan masyarakat adat termarginalkan. Terutama dalam sektor agraria yang banyak meakibatkan konflik masyarakat adat dengan pemerintah ataupun dengan perusahaan korporasi. Pembukaan lahan baru tanpa memperhatikan dampak lingkungan dan keberadaan masyarakat adat di sekitar lahan yang dibukan tersebut demi kepentingan korporasi. Pengakuan hak-hak tradisional masyarakat adat disini sudah dilanggar sesuai amanat UUD 1945. Aturan yang tertulis di dalam UUD 1945 tidak hanya sebagai aturan dasar saja namun sebagai aturan normatif yang berlaku umum bagi seluruh penduduk Indonesia. 


    Ketentuan yang termaktub di dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 tersebut kemudian diselaraskan lagi dengan ketentuan di dalam Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 bahwa, “Identitas budaya dan hak tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” Dengan adanya ketentuan di dalam UUD 1945 mengenai masyarakat adat beserta hukum adat dan hak-hak adat lainnya, Negara telah mengakui bahwa hukum adat dan masyarakat adat adalah bagian dari elemen negara Indonesia walaupun dalam realitasnya pengakuan dan perlindungan terhadap hukum adat dan masyarakat adat masih belum optimal dikarenakan sistem pelaksanaan hukum adat masih bersifat turun-temurun dari generasi ke generasi. 


Melihat ketentuan yang diatur di dalam UUD 1945 tentang pengakuan masyarakat adat, Rukka Sombolinggi selaku Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara melalui Podcast Ruang Publik menyatakan bahwa di dalam UUD 1945 terdapat 2 Pasal yang mengatur tentang pengakuan terhadap masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya. Di dalam Pasal 18B ayat (2) UUD1945 dapat diambil poin bahwa asyarakat adat memiliki hak kolektif yaitu hak yang telah ada sebelum negara lahir atau disebut juga hak asal usul masyarakat adat. Sedangkan di dalam Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 menyebutkan tentang hak-hak tradisional yang diwariskan secara turun temurun. Dengan begitu, pengakuan terhadap eksistensi masyarakat adat secara yuridis konstitusional telah kuat dan diperkuat lagi dengan substansi di dalam Bab Hak Asasi Manusia Pasal 28I ayat (3) UUD 1945.


    Selain telah diatur melalui beberapa Pasal UUD 1945, pengakuan terhadap masyarakat adat telah diturunkan ke beberapa UU sebagai spesifikasi regulasi dari regulasi yang bersifat umum. Tentunya ada banyak sekali UU maupun instrumen yuridis tertulis lainnya di bawah UU seperti Peraturan Daerah. Di dalam Pasal 67 UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menyebutkan beberapa poin tentang pengakuan terhadap masyarakat adat jika dalam kenyataannya masih hidup, yaitu:

  1. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
  2. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
  3. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.


Sebagaimana yang kami kutip di dalam Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 1 VOL. 20 JANUARI 2013: 21 - 36 karya Prof. Jawahir Thontowi dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, beliau menyebutkan lebih dari 14 UU nasional yang bersifat sektoral telah memberikan jaminan terhadap hak-hak masyarakat adat. Akan tetapi dari semua UU tersebut tidak memberikan jaminan bagi kelangsungan dan pelestarian masyarakat adat. Salah satu alasannya ialah kurangnya kelengkapan instrumen hukum untuk memberikan status masyarakat hukum adat (MHA) sebagai legal entity atau badan hukum. Perlu diketahui juga, walaupun negara telah memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat melalui berbagai UU sektoralnya, namun negara sendiri perlu membuat suatu instrumen hukum tersendiri bagi pengakuan masyarakat adat, yaitu dengan segera mengesahkan jalan panjang pembahasan RUU Masyarakat Adat. 


    Dalam sejarahnya, sejak Indonesia merdeka, pada masa jabatan 2009-2014, DPR memulai politik legislasinya yaitu dengan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sesuai yang disampaikan pada news.detik.com. Namun hingga saat ini, RUU Masyarakat Adat sendiri belum juga disahkan akibat ketidakseriusan DPR dalam membahasnya. Pada 2019 lalu, RUU Masyarakat Adat masuk sebagai salah satu Prolegnasi Prioritas 2019. Menurut Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Firman Subagyo, sebenarnya draft RUU Masyarakat Adat telah selesai dan telah disampaikan kepada Presiden Jokowi melalui Surat Nomor LG/03105/DPRRI/2018 dan kemudian direspon oleh Presiden Jokowi melalui Suat Perintah Presiden melalui Kementrian Sekretariat Negara No.B186/M.Sesneg/D-1/HK.00.03/03/2018. Dengan Supres tersebut,  pemerintah membentuk tim pemerintah untuk membahas RUU Masyarakat Adat bersama dengan DPR RI. 


Jalan panjang pembahasaan RUU Masyarakat Adat ditanggapi oleh Sekjend AMAN, Rukka Simbolinggi pada HIMAS 2020. Rukka menyatakan bahwa dengan kunjung belum disahkannya RUU Masyarakat Adat sejak 75 Tahun kemerdekaan Indonesia membuat AMAN berspekulasi bahwa negara belum sepenuhnya hadir di tengah-tengah masyarakat adat sebagai bentuk pengabaian amanat konstitusi Indonesia. 


Problematika Masyarakat Adat dan Tantangannya

Selain masyarakat adat membutuhkan sebuah payung hukum yang bertujuan untuk melindungi hak-hak tradisionalnya, masyarakat adat juga perlu dilindungi dari berbagai instrumen yuridis lainnya yang bertentangan dan melanggar hak-hak tradisional masyarakat adat. Sebagai contohnya di dalam UU No. 18 Tahun 2003 (UU P3H) dianggap melanggar hak masyarakat adat, masyarakat adat tidak hanya dikriminalisasi di wilayahnya, namun juga hak-haknya yang telah diakui dan dijamin oleh konstitusi dirampas atas bumi, air, dan kekayaan alamnya oleh pemerintah. Selain UU P3H, terdapat UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang telah diuji di Mahkamah Konstitusi. Sebelum adanya Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi, hutan adat dianggap sebagai bagian dari hutan negara. Akan tetapi, setelah adanya pengujian di Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, hutan adat terpisahkan dari kekuasaan negara dan dikuasai oleh masyarakat adat. 


    Dalam waktu belakangan ini, publik juga diramaikan oleh diskursus pro dan kontra tentang Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Berkaitan dengan masyarakat adat, apakah RUU Cipta Kerja ini juga menimbulkan polemik baru bagi eksistensi masyarakat adat, apakah ada hak-hak tradisional masyarakat adat yang dilanggar oleh RUU Cipta Kerja tersebut. Sebagaimana yang disampaikan oleh Rukka Sombolinggi di Podcast Ruang Publik bahwa RUU tersebut menegasikan pengakuan masyarakat adat bersayarat yang panjang dan berbelit-belit dikarenakan RUU Cipta Kerja ini mengakomodasi berbagai UU ke dalam satu substansi UU saja. Salah satu orientasi dari adanya Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini adalah untuk memudahkan masuknya investasi dalam rangka menumbuhkan lapangan pekerjaan. Jika dilihat investasi sendiri tentu akan melakukan berbagai kegiatan seperti pembukaan lahan. Dengan adanya pembukaan lahan diatas tanah adat misalnya tanpa persetujuan masyarakat adat maka masyarakat adat melawan atas perampasan hak ulayatnya dan masyarakat adat dapat dikriminalisasi atas dasar menghambat pembangunan dan investasi. Jika para peladang (masyarakat adat) melakukan kegiatan pertaniannya yang dijamin UU, karena adanya RUU Cipta Kerja yang memudahkan perizinan, maka disinilah dampaknya yang dirasakan oleh masyarakat adat secara langsung. Selain berdampak kepada perampasan hak ulayat, RUU Cipta Kerja juga memberikan karpet merah kepada perusahaan terkait masalah lingkungan yang ditimbulkan dengan adanya perusahaan tersebut. Omnibus Law RUU Cipta Kerja sendiri tentunya akan memiliki diskusi yang panjang dan tidak akan dibahas secara detail di dalam artikel ini.


Kesimpulannya, masyarakat adat sebagai salah satu komponen negara yang penting tidak bisa dianggap sebagai masyarakat kelas ketiga karena kurang kompetennya mereka dalam mengelola wilayah adatnya. Masyarakat adat adalah bagian dari negara yang tidak terpisahkan bahkan masyarakat adat sudah lama ada sebelum negara ini merdeka yang harus dijaga keberadaannya. Dengan adanya masyarakat adat, kita sebagai bangsa Indonesia memiliki identitas budaya yang melekat yang terus dibanggakan oleh pemerintah di dunia internasional. Pemerintah seharusnya melindungi dan menjaga eksistensi masyarakat adat dengan segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat sebagai payung hukum untuk melindungi hak-hak tradisional masyarakt adat yang telah diakui oleh konstitusi Indonesia. #SahkanRUUMasyarakatAdat #JegalOmnibusLaw !!

Comments

Popular posts from this blog

URGENSIKAH KENAIKAN IURAN BPJS 2020?

Implementasi Konsep Negara Kesejahteraan Dengan Praktik Tindakan Pemerintah (Freies Ermessen) Dalam Negara Hukum.

ADA APA DENGAN RUU HIP?