OMNIBUS LAW "UU CIPTA KERJA" DAN TEKNOLOGI


    Publik sedang diramaikan oleh banyak sekali tagar-tagar yang mengarah kepada produk legislasi bernama Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja yang sehari lalu telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Secara umum, publik menolak pengesahan UU tersebut tentunya dengan berbagai orientasi kepentingan masyarakat.

    Undang-Undang Cipta Kerja atau biasa dikenal sebagai UU Ciptaker adalah produk hukum yang diekspektasikan menjadi payung hukum masuknya investasi demi eskalasi tenaga kerja di Indonesia.

    Dalam artikel kali ini, kami tidak akan membahas secara rinci mengenai UU Cipta Kerja dari segi substansi, namun kami ingin menyajikan opini lain bagaimana premis Omnibus Law UU Cipta Kerja ini diundangkan serta korelasinya dengan teknologi.

Tenaga Kerja di Indonesia

    Menurut data dari Badan Pusat Statistik atau BPS, pada 2019 ada 130 Juta jiwa yang menjadi tenaga kerja di Indonesia dengan persebaran masing-masing sektor:

  • 29% bekerja di sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (38 Juta jiwa)
  • 20% bekerja di sektor Industri dan Manufaktur (25,8 Juta jiwa)
  • 8% bekerja di sektor Jasa (7,5 Juta jiwa)
  • 1% bekerja di sektor Tambang dan Penggalian (1,37 Juta jiwa)
  • 0,7% bekerja di sektor Informasi dan Komunikasi (940.000 jiwa)
  • 43,7% bekerja di sektor lainnya (56,39 Juta jiwa lainnya)

    Dari data diatas, maka secara keseluruhan, mayoritas tenaga kerja bekerja pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan dan disusul tenaga kerja yang bekerja pada sektor industri dan manufaktur. Namun, tenaga kerja yang bekerja di sektor tambang dan penggalian yang biasanya menjadi target dari adanya investasi hanya memperoleh presentase sebesar 1% dari keseluruhan persebaran sektor tenaga kerja.

    Lantas, apakah investasi di Indonesia menurun sehingga presentase jumlah tenaga kerja hanya sekirat 1% saja? Apakah terdapat problematika dalam masuknya investasi di Indonesia?

Disparitas Terhadap Asumsi Dasar Investasi dan Tenaga Kerja serta Pertumbuhan Ekonomi

    Secara teori, adanya modal atau capital dan investasi akan melahirkan lapangan pekerjaan disebabkan berdirinya berbagai badan-badan usaha. Setelah tenaga kerja terserap dari adanya badan usaha yang berdiri oleh adanya modal yang tersedia, maka kesejahteraan ekonomi akan muncul di suatu negara. Demikianlah asumsi dasar investasi bekerja. Namun, apakah realita berkata demikian?Sebagaimana disampaikan oleh Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Danang Girindrawardana bahwa sejak 2013-2018 nilai investasi di Indonesia selalu naik namun tak diiringi dengan terserapnya tenaga kerja atau mudahnya investasi naik dan tenaga kerja menurun.

    Danang mengungkapkan bahwa pada 2013 investasi yang masuk di Indonesia senilai 398,3 trilliun dengan jumlah tenaga kerja yang terserap 1,8 juta jiwa atau setiap 1 trilliun ada 4.954 jiwa yang menjadi tenaga kerja. Namun, pada 2018 nilai investasi di Indonesia menembus angka 721,3 trilliun dan sementara tenaga kerja yang terserap hanya 960.052 jiwa atau setiap 1 trilliun hanya terserap 1.331 jiwa yang menjadi tenaga kerja.

    Jika ditarik sebuah kesimpulan, maka membuka dan mendorong investasi bukan merupakan satu-satunya metode dalam menyerap tenaga kerja. Akan tetapi, bukankah masuknya investasi akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi akan melahirkan lapangan kerja?

    Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia menyebutkan bahwa realisasi investasi yang masuk sepanjang 2019 mencapai 809,6 trilliun dan hanya menyerap tenaga kerja sebesar 1.033.835 orang. Dengan perbandingan penyerapan tenaga kerja antara tahun 2013 dan 2019 serta pertumbuhan ekonomi. 1% pertumbuhan ekonomi mampu menyerap tenaga kerja sebesar 270.000 di tahun 2013, namun pada tahun 2019, angka tenaga kerja yang terserap mengalami penyusutan yaitu hanya 110.000 tenaga kerja.

    Maka dari itu, premis yang dibangun dalam kerangka pembuatan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) adalah masih menggunakan asumsi dasar lama terhadap penyerapan tenaga kerja melalui investasi dan pertumbuhan ekonomi. Fenomena ini dapat menjadi landasan. Lantas, apa penyebab utama sehingga penyerapan tenaga kerja dari tahun ke tahun mengalami degradasi yang signifikan?

    Jawabannya adalah perkembangan teknologi yang cepat menjadi sumber utama mengapa asumsi-asumsi dasar tersebut meleset. Berkembangnya teknologi dari waktu ke waktu yang semakin mempermudah kegiatan administrasi, pengolahan, dan transaksi manusia. Peran-peran mesin yang dihadirkan dalam sebuah pabrik tentunya membuat pekerjaan lebih efisien dan akuntabel. Produksi secara akselerasi dan massal yang menggunakan mesin-mesin teknologi menjadi salah satu faktor pendorong termarginalnya manusia dalam bekerja. Dengan demikian, sangat wajar bila data-data yang disampaikan oleh Apindo dan BKPM menjadi realitas degradasi penyerapan tenaga kerja manusia. 

    Belum lagi, adanya semangat pemerintah dalam sektor industri melalui Revolusi Industri 4.0 dimana segala bidang dan sektor menggunakan teknologi sebagai alat untuk bekerja. Digitalisasi pekerjaan yang makin mempermudah dalam segala hal. Dalam sektor keuangan misalnya, melalui digitalisasi keuangan, semakin mempermudah transaksi antar sesama pihak dalam melakukan jual-beli atau yang lebih sering ditemui di berbagai area parkir misalnya, gate parkir area yang dahulunya dijaga oleh manusia kini tergantikan dengan mesin pencetak struk parkir, hanya dengan menekan tombol, struk tiket parkir akan keluar dan palang dengan sendirinya akan memberi ruang untuk melanjutkan perjalanan. 

    Teknologi tentunya menjadi diskursus antara dikotomi permintaan dan penawaran tentang lapangan pekerjaan. Operasional teknologi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kerja yang benar-benar memiliki pendidikan yang memadai dalam memahami bagaimana teknologi tersebut bekerja. Sementara di Indonesia sendiri, kesenjangan teknologi masih sangat terasa utamanya bagi rentan usia diatas 45 tahun keatas.

    Kesimpulannya, premis yang digunakan dalam penyusunan Omnibus Law UU Cipta Kerja berdasarkan asumsi dasar tentang investasi yang dapat menyerap tenaga kerja adalah sebuah kekeliuran dikarenakan realitasnya secara mayoritas teknologi mulai menggantikan manusia dalam bekerja.**


 

Comments

Popular posts from this blog

URGENSIKAH KENAIKAN IURAN BPJS 2020?

Implementasi Konsep Negara Kesejahteraan Dengan Praktik Tindakan Pemerintah (Freies Ermessen) Dalam Negara Hukum.

ADA APA DENGAN RUU HIP?