Kebebasan Sosial Media Bagi Anak dalam Tinjauan Hak Asasi Anak
Definisi Anak
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan baik skala nasional maupun internasional dapat ditemukan berbagai definisi tentang anak serta batasan usia kategorisasi seorang anak. Hal tersebut perlu diidentifikasi dan didefinisikan secara cermat agar kedepannya seorang ahli hukum ketika menjumpai anak berproses di hukum dapat mudah untuk mengkategorisasikan jenis serta implikasinya. Dalam Pasal 330 KUHPerdata, anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum dewasa dan belum genap berumur 21 tahun atau belum menikah. Namun, berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU No. 11 Tahun 2012) bahwa anak adalah yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Selain itu, definisi anak menurut UU Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014) adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun dan termasuk anak yang masih dalam kandungan. Selain itu, dalam Pasal 47 ayat (1) UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) menyatakan bahwa anak adalah yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Menurut instrumen internasional hak asasi manusia, khususnya Konvensi Internasional Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Pasal 1 Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990, anak adalah setiap orang yang berumur 18 tahun. Dikecualikan dari itu, jika menurut undang-undang yang berlaku, kedewasaan anak dicapai lebih awal.
Dari berbagai definisi tersebut, secara umum definisi anak ialah mereka yang belum genap berumur 18 tahun atau belum menikah. Akan tetapi, dalam penyelesaian suatu kasus yang mengikutsertakan anak dalam proses hukum tersebut harus melihat berbagai sandaran hukum dari masing-masing tindakan hukum tersebut.
Problematika Sosial Media terhadap Anak
Menurut I Gusti Ayu Bintang selaku Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), laporan kekerasan terhadap anak yang dilakukan di sosial media selama 2017-2019 mencapai 1.940 kasus. Ditambah lagi, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga menangani kasus pengaduan kekerasan terhadap anak sepanjang 2017 hingga 2019 yang mencapai 1940an - 2.000an kasus. Menteri PPPA mengatakan bahwa dengan banyaknya kasus kekerasan terhadap anak di sosial media dilatarbelakangi oleh penggunaan internet yang tidak terawasi dengan baik.
Dalam situasi pandemi seperti ini, penggunaan gawai untuk mengakses segala macam kegiatan menjadi naik secara signifikan. Gawai seolah-olah menjadi senjata utama dalam bekerja dalam keseharian di masa pandemi tak terkecuali pada anak-anak yang menghadapi kebijakan nasional untuk melaksanakan pembelajaran dari rumah.
Biasanya dalam situasi normal, penggunaan gawai oleh anak dapat diminimalisir, namun saat pandemi terjadi, mau tidak mau anak akan terus berhadapan dengan gawai agar selalu bisa mengakses berbagai keperluan dalam menunjang pembelajaran jarak jauhnya (online). Lantas, konsekuensinya ialah anak bisa saja mengakses hal lain diluar pembelajaran tanpa adanya pengawasan yang baik dari orang tua.
Pada bulan April 2020 silam, National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) melaporkan bahwa selama 2020 telah terjadi 4,2 juta kasus kejahatan dan eksploitasi seksual terhadap anak yang kami kutip dari website resmi Sahabat Keluarga Kemendikbud. Selain itu, menurut Sistem Informasi Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) telah menerima lebih dari 4.000 laporan kekerasan terhadap anak sepanjang 1 Januari hingga 24 Juli 2020. Dari jumlah tersebut, 1.111 anak mengalami kekerasan fisik, 979 anak mengalami kekerasan psikis, 2.556 anak menderita kekerasan seksual, 68 anak menjadi korban eksploitasi, 73 anak menjadi korban perdagangan orang, dan 346 anak menjadi korban penelantaran (VOA Indonesia).
Maraknya kejahatan terhadap anak salah satunya dipicu dengan kurangnya bahkan tidak berjalannya pengawasan orang tua terhadap aktivitas anak selama menggunakan gawai, khususnya dalam bersosial media. Salah satu isu hangat yang sedang ramai dibicarakan ialah potensi tindakan seksual online yang dilakukan di sosial media.
End Child Prostitution, Child Pornograpy, and Trafficking Children for Sexual Purpose Indonesia (ECPAT) melakukan sebuah analisa kepada 1.203 responden, terdapat 287 pengalaman buruk yang dialami responden saat berinternet di masa pandemi. Pengalaman buruk tersebut diantaranya dikirimi pesan teks yang tidak senonoh, gambar atau video yang membuat tidak nyaman, gambar atau video yang menampilkan pornografi, ajakan untuk livestreaming atau membicarakan hal tidak senonoh, diunggahnya hal-hal buruk tentang responden tanpa sepengetahuannya, dan dikirimi tautan berisi konten pornografi (Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak).
Mengingat kebutuhan gawai tidak dapat terelakkan lagi, hal tersebut perlu dibarengi dengan tindakan suportif orang tua berupa pengawasan secara berkala terhadap gawai yang digunakan anak beserta aplikasi yang anak gunakan sehingga anak senantiasa berada dalam koridor fasenya, hubungan komunikasi anak dan orang tua tidak luntur akibat adanya gawai, dan anak tidak menjadi target korban kejahatan dunia online sosial media.
Kebebasan Anak dalam Berekspresi
Penggunaan sosial media berupa menyampaikan dan menerima informasi merupakan salah satu kebebasan yang diakui dalam Konvensi Hak Anak. Karena menyampaikan dan menerima informasi adalah hak yang tidak bisa dibatasi berdasarkan umur sepanjang hak tersebut tidak merugikan hak orang lain, contohnya memberikan informasi palsu kepada khalayak luas (hoax) tidak dapat dibenarkan dan harus diberantas karena tentunya penyebaran informasi palsu (hoax) secara nyata merugikan orang lain yang terdampak secara langsung maupu tidak langsung.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Konvensi tentang Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang ditetapkan pada 20 November 1989 dan dinyatakan berlaku pada 2 September 1990 secara lengkap mengatur berbagai hak-hak yang diakui untuk anak seperti hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial, dan politik atas berbagai diskursus dan problema yang dihadapai anak diseluruh dunia. Secara khusus dalam Pasal 13-14 Konvensi terkait mengatur tentang kebebasan untuk berpendapat, berpikir, dan berkeyakinan beragama.
Pasal 13 Konvensi mengatur, “Tiap anak berhak mengemukakan pandangannya dan menerima dan menyampaikan informasi. Hak ini dapat dibatasi jika pandangan itu merugikan atau menyinggung sang anak atau orang lain.” Sedangkan dalam Pasal 14 Konvensi “Tiap anak berhak atas kemerdekaan berpikir, berkeyakinan, dan beragama, sepanjang hal ini tidak menghalangi hak orang lain. Hak orangtua untuk membimbing anak mereka terkait hal-hal ini perlu dihargai.”
Pada dasarnya, setiap anak memiliki kebebasan dalam mengemukakan pandangannya terhadap suatu hal. Selain itu, setiap anak juga memiliki kebebasan penuh untuk menerima dan memberikan informasi dalam segala bentuk media yang ia inginkan. Dengan adanya kebebasan dalam berpikir dan berpendapat tersebut secara nyata bahwa anak merdeka untuk melakukan hal yang sama seperti orang dewasa pada umumnya. Namun, dalam kedua pasal tersebut dinyatakan klausula pembatasan terhadap hak-hak terkait jika dirasa merugikan anak atau orang lain dan memberikan otoritas kepada orang tua untuk membimbing anak terhadap kebebasan berpikir.
Konvensi Hak Anak memperkenalkan 5 prinsip-prinsip dasar seperti larangan diskriminasi, kepentingan terbaik anak, tanggung jawab negara, hak untuk tumbuh dan berkembang secara maksimal, dan hak untuk berpartisipasi. Prinsip tanggung jawab negara menempatkan negara secara penuh untuk menjamin segala tumbuh kembang anak melalui kebijakannya baik secara legislatif, administratif, dan tindakan-tindakan lainnya yang diakui di dalam Konvensi tersebut.
Melihat prinsip tanggung jawab negara berdasarkan langkah legislatif, Indonesia melalui Dewan Perwakilan Rakyat sedang menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi atau biasa disebut RUU PDP dimana salah satu substansi dari adanya RUU tersebut adalah limitasi akses terhadap sosial media bagi anak-anak yang masih dibawah umur 17 tahun yang harus melalui mekanisme persetujuan orang tua.
Dengan keberadaan RUU tersebut, selain negara juga berperan melalui langkah-langkah legislatifnya, orang tua sebagai pengawas langsung terhadap tumbuh kembang anak juga ikut berperan dalam pengawasan penggunaan sosial media terhadap anak. Keberadaan RUU PDP tersebut jika nantinya telah disahkan oleh DPR dan Presiden tidak akan membatasi talenta-talenta muda yang sering muncul di jejaring sosial media, namun sekedar pembatasan kepada anak agar penggunaan sosial media dalam gawai sesuai dengan fase tumbuh kembangnya dan tidak merusak hubungan dengan orang tuanya.
Hukum Hak Asasi Manusia secara jelas juga telah menguraikan bagaimana HAM bisa saja dibatasi dengan alasan berdasarkan hukum, alasan yang sah, dan diperlukan dalam masyarakat demokratis.**
Comments
Post a Comment